Sunday, December 16, 2007

Status Tanah di Pinggir Tembok Perumahan

(PROPERTI.BIZ edisi 23 / Desember 2007)

Pak Surjadi Yth.

Saya baru membeli rumah di salah satu perumahan. Posisi rumah saya terletak di pinggir lokasi perumahan, dan bersebelahan dengan tanah kosong milik penduduk. Saat ini saya ingin melebarkan luas tanah dengan cara membeli lahan milik penduduk di samping rumah saya.

Yang ingin saya tanyakan, bagaimana status rumah/tanah nanti seandainya saya membeli tanah penduduk di samping rumah? Bagaimana soal legalitasnya? Apa saya harus mengubah surat surat milik saya? Sebagai tambahan informasi, rumah saya dibeli secara kredit.

Terima kasih atas bantuannya.
Suwanta - Bandung
Jawab:

Pak Suwanta, ada dua hal yang harus Bapak perhatikan

Masalah kepemilikan tanah
Bahwa dapat saja Bapak membeli tanah kosong yang bersebelahan dengan rumah Bapak. Ini artinya Bapak mempunyai 2 bidang tanah. Nantinya, kedua bidang itu dapat disatukan dalam satu sertifikat tanah, istilahnya penggabungan sertifikat. Namun sebelum penggabungan tersebut, jenis hak kedua tanah itu harus sama, apakah keduanya HGB atau Hak Milik. Jadi secara hukum dapat saja Bapak membeli tanah milik penduduk yang berada di samping rumah Bapak.

Masalah pengelolaan lingkungan
Karena rumah Bapak berada dalam komplek perumahan, Bapak harus tunduk pada tata tertib pengelolaan komplek perumahan tersebut. Artinya jika ingin membangun dengan menggabungkan tanah milik penduduk, Bapak harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari pengembang. Biasanya komplek perumahan yang dikelola oleh pengembang mempunyai batas batas tertentu. Mengingat faktor efektifitas pengelolaa, kenyamana dan keamanan. Apalagi jika batas batas tersebut sudah ditembok keliling. Jika demikian agak sulit bagi pengembang memberi izin untuk menjebol tembok tersebut semata mata Bapak ingin mengembangkan rumah keluar batas komplek.
Namun jika batas komplek yang terdapat pada rumah Bapak belum terpagar tembok, dapat saja Bapak meminta kepada pengembang untuk mengubah batas komplek. Batas itu bisa saja disesuaikan dengan batas tanah yang Bapak beli. Dengan demikian, lahan yang baru dibeli menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari komplek perumahan.
Adapun rumah yang dibeli secara kredit, tidak ada hubungannya dengan kepemilikan lahan milik penduduk tersebut, juga tak ada perubahan dalam batas komplek tersebut.

Demikian, semoga bermanfaat.
Salam – Surjadi Jasin

Friday, November 16, 2007

Perjanjian Dalam Menyewakan Rumah

(PROPERTI.BIZ edisi 22 / Nopember 2007)

Pak Surjadi,

Saya berencana untuk menyewakan rumah saya yang terletak di pusat kota. Agar terlindung secara hukum, perjanjian apa yang harus saya lakukan?
Mohon saran. Terima kasih.

Arman - Bandung
Jawab:

Bapak Arman,
Untuk melindungi praktek sewa menyewa rumah, pemerintah mengeluarkan PP No.44/1994 tentang Penghunian Rumah oleh Bukan Pemilik. Peraturan ini memberikan jaminan perlindungan hukum, baik bagi pemilik maupun penyewa. Dalam aturan disebutkan, bahwa penghunian rumah oleh bukan pemilik dengan cara sewa menyewa hanya sah apabila ada persetujuan atau ijin pemilik yang dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis.

Ada 3 klausul yang patut diperjanjikan dalam perjanjian sewa menyewa yaitu klausul hak dan kewajiban, klausul jangka waktu sewa dan klausul besasrnya harga sewa.

Sebagai pemilik rumah, anda memiliki hak untuk menerima uang sewa dan menyerahkan rumah dalam kondisi yang tercantum dalam perjanjian. Kondisi yang dimaksud adalah kondisi fisik dan non fisik. Kondisi non fisik yang dimaksud adalah kondisi secara hukum, yaitu rumah harus bersih dari sengketa dan tidak sedang dijaminkan.

Pihak penyewa berkewajiban untuk menggunakan rumah tersebut sesuai dengan fungsinya, dan tidak boleh menyewakan lagi ke pihak ketiga.
Juga perlu dijelaskan dalam klausul hak dan kewajiban, siapa yang membayar tagihan biaya yang timbul selama penyewa menempati rumah tersebut.

Klausul lain yang harus diperhatikan dan dicantumkan dalam perjanjian selain hak dan kewajiban adalah kalusul jangka waktu sewa dan biaya sewa. Ketika masa perjanjian sewa berakhir, maka berakhir pula hak penyewa untuk menempati rumah tersebut. Jika penyewa tidak mau memperpanjang kontrak, maka penyewa harus meninggalkan rumah dan mengembalikan dalam keadaan baik. Jangka waktu sewa harus anda tentukan sendiri.

Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat.
Salam - Surjadi Jasin, SH

Tuesday, October 16, 2007

Memakai Jasa Broker

(PROPERTI.BIZ edisi 21 / Oktober 2007)

Pak Surjadi,

Saya ingin menjual tanah berikut dengan bangunan lewat jasa broker. Apakah langkah itu aman dan menguntungkan bagi saya? Apa saja hal-hal yang patut saya cermati, jika ingin menjalin kerjasama dengan broker atau agen properti itu? Dari segi hukum bagaimana ? Mohon saran.
Terima kasih.

Agus
Bandung

Jawab:

Bapak Agus,
Memakai jasa broker properti mempunyai banyak keuntungan, salah satunya adalah anda tidak disibukan oleh peminat properti anda. Walaupun demikian ada beberapa hal yang perlu anda cermati guna menghindari perselisihan dikemudian hari, antara lain:
  1. Dalam perjanjian,yang dibuat, pastikan hak dan kewajiban broker dan Anda. Lazimnya, broker itu menangani semua iklan, kunjungan calon pembeli, negosiasi, termasuk segala biaya yang akan timbul dari proses pemasaran.
  2. Jangka waktu perjanjian umumnya tiga bulan. Selama periode tersebut, jika rumah terjual, maka broker mendapat komisinya, walaupun penjualannya tidak melalui broker. Alasannya karena mereka telah mengiklankan properti yang dijual.
  3. Setelah waktu tiga bulan, biasanya ditentukan bahwa walaupun setelah masa perjanjian berakhir, tapi jika yang membeli adalah orang yang pernah diundang. Maka broker tetap berhak atas komisinya. Identitas pembeli itu sendiri berdasarkan data peminat yang ada.
  4. Yang menentukan harga jual tetap pemilik properti. Jika ada perubahan harga penawaran harus dengan persetujuan pemilik.
  5. Ketentuan atas besaran komisi broker harus tegas dan jelas di dalam perjanjian tersebut.
  6. Masing-masing pihak akan menanggung beban pajak.
  7. Dokumen dokumen antara lain sertipikat, cukup fotocopy saja.
Demikian penjelasan saya, semoga bermanfaat.

Salam,
Surjadi Jasin, SH

Sunday, September 16, 2007

Pengkavelingan Tanah

(PROPERTI.BIZ edisi 20 / September 2007)

Pak Surjadi,

Saya berniat untuk menjual tanah warisan saya yang terletak di daerah Dago, Bandung Utara, seluas ± 2.000 m2. Agar tanah tersebut lebih cepat laku terjual, maka saya bermaksud untuk menjualnya menjadi beberapa kaveling.

Untuk itu kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
  1. Jika tanah itu dijual dalam beberapa kaveling, apakah harus ada pemecahan surat-surat tanah? Tanah kami masih bersertifikat girik, apakah kami harus menyertifikatkan bagian-bagian tanah itu menjadi sertifikat hak milik sebelum menjualnya?
  2. Jika harus memecah tanah menjadi beberapa kaveling, siapa yang berhak melakukan pengukuran tanah? Bisakah kami lakukan sendiri, atau harus dilakukan oleh pihak Pemda?
  3. Bagaimana halnya jika tanah bagian belakang tidak memilik akses jalan? Apakah kami harus menyisakan (tidak menjual) sebagian tanah sebagai jalan akses? Siapa pula yang berhak memiliki tanah yang berfungsi sebagai jalan tadi?
Demikian dan terimakasih.

Hormat saya,
Wisnu - Bandung

Jawab:

Bapak Wisnu yang terhormat,

Surat Girik adalah tanda bukti pembayaran pajak, bukanlah tanda bukti kepemilikan. Hal ini bisa membuktikan bahwa orang yang memegang (pemegang) dokumen tersebut adalah orang yang menguasai atau memanfaatkan tanah tersebut, dan patut diberikan hak atas tanah. Surat Girik cukup kuat untuk dijadikan dasar permohonan hak atas tanah atau sertifikat karena pada dasarnya hukum tanah kita bersumber pada hukum tanah adat yang tidak tertulis.

Selanjutnya untuk jawaban pertanyaan anda, sebagai berikut:
  1. Sebaiknya tanah tersebut disertifikatkan terlebih dahulu sebelum dijual agar bukti kepemilikannya lebih jelas dan kuat, sehingga calon pembeli lebih yakin dan harga bisa lebih mahal.
  2. Tanah tidak harus dipecah perkaveling agar calon pembeli lebih fleksibel menentukan luasan yang dibutuhkan. Jika ingin memecah, yang berhak melakukan pengukuran adalah Petugas Pengukuran dari Kantor Pertanahan (BPN) setempat.
  3. Jika tanah tersebut dipecah perkaveling, syaratnya secara hukum adalah masing-masing kaveling tersebut harus memiliki akses jalan.
Demikian, terimakasih.
Surjadi Jasin

Thursday, August 16, 2007

Mengaku Penggarap

(PROPERTI.BIZ edisi 19 / Agustus 2007)

Pak Surjadi,

Saya membeli sebidang tanah, dengan status HGB. Pada saat saya sedang membangun, saya didatangi Bpk. A. Dia mengaku anak Ibu B, yang merupakan penggarap dari sebagian tanah tersebut.
Mereka menunjukan surat dari Kelurahan yang terdapat denah tanpa batas yang jelas. Dikatakan bahwa sebagian tanah saya tersebut adalah garapan Ibu B. Bpk. A meminta saya untuk menghentikan pembangunan sebelum ganti rugi garapan diberikan.
Sampai sekarang saya masih bertahan untuk tidak memberi ganti rugi. Saya katakan, waktu saya membeli status tanah sudah HGB, sehingga ganti rugi sudah diberikan pada saat membuat Sertifikat, dan memang menurut pemilik awal, ganti rugi sudah diberikan dengan bukti terlampir.

Dengan adanya kejadian tersebut, saya minta saran dari Bapak.
Terima kasih. - Ating
Jawab:
Bpk. Ating yang terhormat,

Posisi hukum Bapak cukup kuat karena kepemilikan tanah dikatakan sempurna apabila bersatunya dua hal, yaitu Bukti Fisik (artinya fisik lahan dikuasai) dan Bukti Surat (artinya sertifikat atas nama yang menguasai fisik).
Sertifikat merupakan alat bukti kepemilikan tanah yang kuat walau tidak mutlak. Artinya dapat dibatalkan melalui proses hukum jika terdapat cacat hukum dalam proses penerbitannya.
Mengenai masalah Bapak, tuntutan yang diajukan tidak mempunyai landasan hukum yang kuat. Maka saran saya, tidak perlu dilayani karena akan menjadi preseden buruk, kedepannya bisa saja muncul anak anak yang lain.

Tindakan yang dapat Bapak lakukan adalah :
  • Meneruskan pembangunan
  • Laporkan dan koordinasikan masalah gangguan tersebut ke Polisi Setempat, sehingga mereka dapat mengantisipasi dan dapat membuat jera pelaku.
Demikian penjelasan singkat ini, semoga bermanfaat.
Salam , Surjadi Jasin

Monday, July 16, 2007

Ingin Menjadi Developer

(PROPERTI.BIZ edisi 18 / Juli 2007)

Pak Surjadi,

Saya mempunyai lahan di lokasi yang strategis seluas 6 ha. Saya diajak oleh teman saya untuk berbisnis properti sebagai developer. Masalahnya adalah saya belum pernah terjun ke bisnis ini. Untuk itu, saya minta gambaran ringkas tentang persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang developer.
Terima kasih atas penjelasannya.

Djojo H. – Bandung

Jawab:

Bpk. Djojo yang terhormat,
Secara garis besar persyaratan izin administratif yang harus dilengkapi oleh developer adalah sbb :
  • Izin prinsip/izin lokasi/SIPPT dari Pemerintah Daerah
  • Site plan, yang dibuat oleh Developer dengan persetujuan Pemerintah Daerah setempat yang berisi perencanaan lahan yang akan dibangun serta peruntukan dan bentuknya
  • Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Permohonan IMB diajukan kepada Dinas Pengawasan Bangunan/Dinas Tata Kota Kota Pemerintah Daerah
  • Izin Penggunaan Bangunan diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat setelah bangunan selesai dibangun
Demikian penjelasan singkat saya , harapan saya bisnis properti yang pak Djojo rencanakan dapat berkembang dengan baik.

Salam , Surjadi Jasin

Saturday, June 16, 2007

Sertipikat Atas Nama Anak di Bawah Umur

(PROPERTI.BIZ edisi 17 / Juni 2007)

Pak Surjadi yang terhormat,

Saya seorang ibu yang baru saja mempunyai putra berumur 2 tahun. Saya dan suami berniat membeli rumah di salah satu perumahan di Bandung Selatan. Kami sepakat bahwa sertipikat tanah tersebut akan diatas namakan kepada anak saya, hanya saya ragu bagaimana caranya agar transaksi terjadi dan sertipikat dibalik nama ke anak saya karena saya mendengar bahwa anak di bawah umur belum boleh melakukan perbuatan hukum (Akta Jual Beli).

Mohon penjelasannya dan terima kasih.
Anna Rosaina - Bandung Selatan.

Jawab:

Terima kasih Ibu Anna, Saya harapkan ibu tidak usah ragu-ragu lagi untuk membeli tanah dan bangun itu dan meng-atas namakan ke atas nama putra ibu. Ibu tinggal menyertakan syarat-syarat untuk membeli tanah dan bangunan tersebut seperti: KTP ibu sebagai orang tua yang akan menandatangani Akta Jual Beli di hadapan PPAT, Akta kelahiran anak, dan syarat-syarat lainnya yang ibu bisa tanyakan kepada PPAT yang akan membuat Akta Jual Beli atas tanah tersebut.

Jadi yang akan menandatangani Akta Jual Beli tersebut tetap ibu / bapak dalam kapasitas menjalankan kekuasaan orang tua dan setelah diproses sertipikat akan dibalik nama ke atas nama putra ibu tersebut.

Terima kasih, semoga bermanfaat.
Salam
Surjadi Jasin, SH

Wednesday, May 16, 2007

Penggabungan Sertipikat

(PROPERTI.BIZ edisi 16 / Mei 2007)

Pak Surjadi Yang Terhormat,

Saya baru saja membeli sebidang tanah dan bangunan di suatu komplek perumahan Bandung Utara seluas 330 m2. Pada saat dilakukan Akta Jual Beli, saya harus menandatangani 3 buah Akta jual Beli, karena tanah seluas 330 m2 tersebut terdiri dari 3 sertipikat masing-masing 290 m2, 30 m2, dan 10 m2, bagaimana agar saya dapat memperoleh 1 sertipikat saja.

Tatang, Dago Pojok.
Jawab:

Pak Tatang Yang terhormat,

Memang seringkali dalam transaksi di Komplek Perumahan ditemui satu bidang tanah terdiri dari 2 atau 3 atau lebih sertipikat, hal itu terjadi karena Pengembang membeli banyak tanah yang terdiri dari beberapa sertipikat sehingga ketika digabung untuk dijadikan kavling, ada kemungkinan terjadi satu kavling terdiri dari 2 sertipikat atau lebih.
Hal ini menurut saya tidak menjadi masalah karena setelah sertipikat tersebut dibaliknama ke nama Anda, Anda akan bisa langsung menggabungkannya melalui Penggabungan Hak.

Syaratnya Pemegang Sertipikat hak atas tanah yang akan digabung harus memohon kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat melalui loket penerimaan, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Pemegang sertipikat hak atas tanah yang akan digabung harus sama.
  2. Jenis sertipikat hak atas tanah yang akan digabung harus sama.
  3. Letak bidang-bidang yang akan digabung harus di satu hamparan tanpa putus dengan hak lain.
  4. Sertipikat penggabungan hak yang diterbitkan harus tetap terdaftar atas nama pemilik semula.
  5. Apabila pemohon badan hukum, harus mendapat persetujuan sesuai anggaran dasar yang dilampirkan bersama akta pendirian perusahaan yang disahkan menteri.
  6. Setiap fotokopi yang dipersyaratkan sudah dilegalisir oleh pejabat yang berwenang.
Demikian jawaban saya.
Salam, Surjadi Jasin

Monday, April 16, 2007

Akta Jual Beli Tanah Harus Dengan Akta PPAT

(PROPERTI.BIZ edisi 15 / April 2007)

Pak Surjadi,

Saya dan adik saya membeli tanah dan bangunan di tempat asal saya di Cirebon, dari tetangga, pada tahun 2004. Bukti bukti surat yang saya punyai hanya 1 lembar kwitansi tanda lunas dan surat perjanjian jual beli dibawah tangan ditanda tangani oleh kami (penjual – pembeli) dan 2 orang saksi masing masing ketua RT dan RW. Apakah dengan bukti tersebut posisi kami cukup aman berkaitan dengan pembelian tanah tersebut. Apa dengan bukti yang ada sudah mencukupi bahwa kepemilikan tanah berada di tangan kami?

Terima kasih atas jawabannya.
Suparto – Bandung

Jawab:

Bpk. Suparto yang terhormat,

Menurut pasal 617 KUH Perdata antara lain berbunyi “tiap-tiap akta dengan mana kebendaan tak bergerak dijual, dihibahkan, dibagi, dibebani (dijaminkan) atau dipindah tangankan, harus dibuat dalam bentuk akta otentik, dengan ancaman kebatalan”.

Juga dalam pasal 19 PP No 10 Thn 1961 yang berbunyi sebagai berikut “setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (PPAT)”.

Ketentuan ini secara jelas membatasi kebebasan para pihak untuk membuat perjanjian secara bawah tangan karena undang-undang mengharuskan segala hal yang berkaitan dengan pemindahan hak atas tanah, menjaminkan, hibah hak atas tanah harus dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang ditunjuk dalam hal ini adalah PPAT.
Untuk itu, sebagai jalan keluarnya saya sarankan agar Pak Suparto dan penjual segera menghubungi PPAT setempat dimana lokasi tanah tersebut berada untuk meminta dibuatkan Akta Jual Beli nya.

Demikian jawaban saya.
Salam, Surjadi Jasin

Friday, March 16, 2007

Roya, Apakah Itu?

(PROPERTI.BIZ edisi 14 / Maret 2007)

Pak Surjadi,

Saya baru saja melunasi KPR pada suatu Bank Pemerintah. Saat saya mengambil sertifikat, bank menyerahkan kepada saya sertifikat asli, disertai sertifikat Hak Tanggungan dan surat pelunasan dari bank tersebut. Saat saya menerima surat-surat tersebut, petugas bank mengatakan bahwa saya harus meroya serfitikat tersebut. Saya lupa menanyakan kepada petugas bank tersebut, apa yang dimaksudnya.

Mohon penjelasan dari Pak Surjadi karena saat ini saya hendak menjual kembali rumah itu.
Terima kasih.

Bpk. Anton - Bandung.
Jawab:
Bpk. Anton yang terhormat,
Terima kasih atas pertanyaannya.
Penghapusan Hak Tanggungan (roya) merupakan penghapusan hak jaminan karena pelunasan utang tertentu yang dibebankan atas hak atas tanah dari debitur kepada kreditur, dengan menggunakan surat roya (pelunasan) dari kreditur kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat yang dimohon oleh debitur melalui prosedur perolehan penghapusan Hak Tanggungan dengan pemenuhan persyaratan permohonan sebagai berikut:
  1. Surat permohonan
  2. Surat roya Hak Tanggungan dari kreditur
  3. Sertipikat hak atas tanah
  4. Sertipikat Hak Tanggungan
  5. Fotokopi KTP atau identitas diri penerima kuasa yang disertai surat kuasa jika permohonannya dikuasakan
Persyaratan permohonan tersebut di atas disampaikan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat melalui loket penerimaan, dengan ketentuan, kewenangan untuk menyatakan hapusnya Hak Tanggungan dipegang oleh kreditur yang menyatakan secara tertulis bahwa hutang debitur telah lunas atau hak atas tanahnya telah bebas dari pembebanan Hak Tanggungan.
Selama Bapak belum meroya atas tanah dan bangunan tersebut tidak dapat dialihkan (jual beli) ataupun dijadikan jaminan ke Bank.

Semoga bermanfaat.
Salam, Surjadi Jasin

Friday, February 16, 2007

Harta Bersama

(PROPERTI.BIZ edisi 13 / Pebruari 2007)

Pak Surjadi,

Saya telah bercerai dengan suami saya kurang lebih 5 tahun yang lalu melalui Keputusan Pengadilan Negeri di Bandung. Entah bagaimana awalnya, sejak 2 tahun lalu, kami berniat rujuk dan sudah hidup bersama kembali. Namun karena berbagai alasan hubungan kami ini belum disahkan kembali melalui perkawinan.

Selama hidup bersama dalam 2 tahun tersebut saya membeli 3 bidang tanah dan bangunan dari hasil keringat saya sendiri (karena memang suami selama ini menganggur). Saya berencana menjual salah satu tanah dan bangunan tersebut untuk membantu saudara saya. Tetapi suami menyatakan keberatannya sekaligus menuntut segala sesuatu harus dengan persetujuannya terlebih dahulu karena alasannya harta tersebut harta bersama. Bahkan suami mengancam akan menggugat cerai ke Pengadilan.

Pertanyaan saya, bagaimana sebenarnya status perkawinan kami dan apakah benar tanah dan bangunan tersebut merupakan harta bersama?
Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Ibu Anis, Bandung.
Jawab:
Ibu Anis yang terhormat,

Terima kasih atas pertanyaannya. Dengan belum melakukan perkawinan secara sah dan resmi, maka status perkawinan (hidup bersama) Ibu dan suami (mantan) jelas tidak sah. Dengan demikian dapat dikatakan tidak ada hubungan hukum antara Ibu dengan suami (mantan).

Oleh karena itu, menurut kami apabila benar Ibu berhasil membeli/memiliki ketiga tanah dan bangunan itu dengan jerih payah Ibu sendiri maka tanah dan bangunan tersebut bukan merupakan harta bersama. Karena itu Ibu berhak melakukan pengalihan hak (jual beli) terhadap pihak ketiga tanah dan bangunan tersebut tanpa persetujuan dari suami (mantan).

Pada dasarnya, masing-masing pihak baik suami maupun istri memiliki hak atas masing-masing harta yang dibelinya. Jika perceraian terjadi, tidak ada harta yang harus dibagi, kecuali harta tersebut dibeli bersama.
Semoga bermanfaat.

Salam - Surjadi Jasin.

Friday, January 5, 2007

Tanah Obyek Jual Beli Disita

(PROPERTI.BIZ edisi 12 / Januari 2007)

Pak Surjadi yang terhormat,

Saya hendak membeli tanah dan bangunan di sekitar Jl. Moh. Toha seluas ± 1000m². Harga telah disepakati antara saya dengan penjual. Uang muka telah saya berikan kepada penjual hampir 50% dari harga jual. Ketika akan dilakukan jual beli. PPAT menolak untuk melakukan jual beli karena katanya ada sita dari pengadilan. Informasi tersebut didapat dari hasil pengecekan ke BPN.

Saya terkejut mendengarnya dan saya langsung menghubungi penjual, lalu penjual menerangkan bahwa benar tanah tersebut dalam sengketa dan disita oleh Pengadilan berdasarkan gugatan dari penggugat, tetapi menurut penjual perkara tersebut sudah selesai karena ada perdamaian antara mereka. Namun sita belum diangkat.
Mohon penjelasan dari Pak Surjadi bagaimana masalah ini dapat diatasi. Mohon jawaban secepatnya. Terima kasih.
Wawan, Bandung.
Jawab:
Pak Wawan yang saya hormati,
Masalah seperti ini sering menimpa pembeli yang kurang hati-hati, sebaiknya sebelum pembeli melakukan pembayaran, pembeli harus mencek sertipikat ke BPN, apakah sertipikat tersebut “bersih” atau tidak. Kepala Kantor Pertanahan wajib menolak melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak atas tanah terdaftar di Kantor Pertanahan apabila hak atas tanah bersangkutan menjadi obyek sengketa.

Dalam rangka memberi jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemilik dan pemegang hak atas tanah maka pendaftar tanah Indonesia menggunakan azas publisitas negatif dimaksudkan agar pihak yang berkepentingan berkesempatan memajukan gugatan ke Pengadilan. Azas publisitas positif pendaftaran tanah digunakan ketika sertipikat hak atas tanah telah diterbitkan Kantor Pertanahan, berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, sepanjang tidak terbukti sebaliknya. Selama sita jaminan masih melekat atas hak atas tanah sebagaimana catatan sita di dalam buku tanah dan daftar umum lainnya, maka Kepala Kantor Pertanahan menolak setiap permohonan perubahan pemeliharaan data fisik maupun data yuridis bersangkutan.
Catatan sita di buku tanah dan daftar umum lainnya dalam perkara perdata maupun pidana hanya dapat dibatalkan atau diangkat sita setelah perkaranya dihentikan atau perkaranya sudah diputuskan hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dibuktikan dengan surat perintah angkat sita sesuai dengan salinan resmi berita acara pengadilan bersangkutan.

Dalam kasus Bapak, dapat disarankan kepada penjual agar mengajukan permohonan pengangkatan sita kepada Pengadilan yang bersangkutan dan menyampaikan berita acara pengangkatan sita kepada Kantor Pertanahan. Setelah Kantor Pertanahan menghapus catatan sita di Buku Tanah, maka transaksi sudah dapat dilakukan.

Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat.
Salam - Surjadi Jasin.